Warga tionghoa datang ke Gubug melihat hasil bumi desa Gubug
berlimpah, beberapa taoke Semarang datang untuk membelinya. Setiap pagi, iring-
iringan gerobag datang dari Semarang menuju desa Gubug. Karena desa Gubug
dipandang aman, beberapa orang Cina membeli tanah di Gubug.
Mereka memilih tanah dipinggir jalan, untuk membeli hasil bumi dari
pribumi. Setiap pagi, terlihat timbangan dacin tergantung pada tiang bambu
berkaki tiga. Pekerjaan yang mereka lakukan itu, oleh warga tionghoa sendiri
dinamakan batiak. Melihat hasil panen padi di desa Gubug yang berlimpah, 3 warga
tionghoa membuka usaha penggilingan padi. Tempo doeloe di desa Gubug, ada 3
pabrik penggilingan padi besar. Pabrik padi kidul (selatan) dikelola "Yap
& Son, pabrik padi tengah dikelola Hendrick, pabrik lor (utara) dikelola
Wat Ling (sekarang rumahnya jadi gedung tua). Beras hasil penggilingan dikirim
ke Semarang, atau ke kota besar di tanah Jawa. Tempo doeloe tiap pabrik padi
memiliki halaman luas, untuk menumpuk padi yang akan digiling.
Waktu demi waktu sebagai rasa syukur warga tionghoa mendirikan
klenteng sebagai tempat ibadah mereka. Dengan iuran sukarela warga tionghoa
desa Gubug mendirikan klenteng. Didatangkan tukang kayu dan tukang batu dari
Semarang dan Jepara, sedangkan perancang bangunan didatangkan dari Semarang.
Berdasarkan pahatan tulisan di bagian atap, diketahui dibuat tahun 1868 M.
Bentuk tulisannya berhuruf Wei Yhang (sandi berhuruf Cina), bila diterjemahkan
menunjukkan angka tahun tersebut.
Suasana klenteng akan ramai, bila Warga Tionghowa merayakan tahun
baru Imlek. Mereka mendatangkan pertunjukan wayang Poo The Kie (wayang golek
asli Cina) dari Semarang. Cerita yang dimainkan tentang kerajaan atau pahlawan,
yang pernah ada di negara Cina zaman dulu. Pertunjukan berlangsung
berhari-hari, kadang juga hampir satu bulan. Kebahagiaan orang Cina waktu itu,
dinikmati juga oleh penduduk pribumi. Mereka ikut melihat pertunjukan wayang
poo The Hie, walau tidak tahu bahasanya. Secara iuran Warga Tionghowa di Gubug
juga membeli Liong, dan setiap sore pemuda-pemuda warga tionghoa berlatih
bermain di halaman klenteng. Ramai bunyi musik pengiring, mengundang penduduk
sekitar datang menonton.
Konon warga tionghoa membeli tanah di desa Kuwaron, digunakan
untuk tanah makam. Karena jumlah warga Cina masih sedikit, hanya beberapa
jenasah saja yang telah dimakamkan di situ. Atas bantuan pemerintah Belanda,
mereka berhasil membeli tanah lebih luas di Kapung. Sejak itu, makam Cina di
desa Kuwaron tidak digunakan lagi.
Tahun 1965 bekas makam Cina di desa Kuwaron diratakan, digunakan
untuk mendirikan Sekolah Teknik Negeri (STN) yang semula berada di Ndukoh
(sekarang jadi pabrik sirup Kartika). Beberapa buah makam warga Cina digali,
dan dipindah ke pemakaman Cina di desa Kapung. Waktu diadakan penggalian makam,
banyak peti mati (terbelo) yang masih utuh. Di dalam terbelo ditemukan
perhiasan emas berupa gelang dan kalung di samping kerangka jenazah. Menurut
cerita warga Cina sendiri, keluarga sengaja memasukkan benda yang disayangi
oleh orang yang telah meninggal dunia. Ada juga yang memasukkan beberapa uang
logam, dan katanya sebagai bekal perjalanan orang yang meninggal dunia.
Berkembangnya jaman, di tanah tersebut sekarang didirikan SMP
Negeri 1 Gubug.
*)Sumber: Bejo Suhardono. KILG News-Heri Sis.